Selain sebagai pemberhentian kereta api (KA),Stasiun Mojokerto juga memiliki nilai historis pada masa perjuangan.Tak sekedar menyambungkan moda transportasi dari satu kota ke kota lain,namun memiliki peran politik.Hal ini tak lepas pada masa lalu moda transportasi KA menjadi salah satu jalur yang paling sibuk.Stasiunnya masuk dalam klasifikasi stasiun besar karena sudah hampir menghubungkan seluruh kota-kota besar di Jawa.Kondisi itulah yang tak jarang membuat terjadinya pertemuan politik di Stasiun Mojokerto.Salah satunya pertemuan yang pernah dilakukan tokoh nasional KH Wahid Hasyim."Hasyim pernah melakukan pertemuan dengan seorang pengusaha muda keturunan Arab di Stasiun Mojokerto".terang sejarawan Mojokerto Ayuhanafiq.Pengusaha muda itu adalah Ali Martak,Kala itu,Kiai Wahid Hasyim sudah menjadi tokoh nasional dan juga Ketua Muda Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB NU).Sementara itu,keluarga Ali Martak memiliki bisnis yang besar di Mojokerto.Tak lain adalah perusahaan tenun modern Kesono NV di Gondang,sekaligus bisnis keluarga.Selain itu,keluarga keturunan Arab lainnya juga memiliki perusahaan tekstil di Dinoyo,"Dari kantor pusatnya di Surabaya,Keluarga Martak sering bepergian ke Mojokerto menggunakan kereta api"ulasnya.Hingga akhirnya,pada suatu hari keduanya bertemu di Stasiun Mojokerto.Dalam pertemuan itu,terjadi klarifikasi atas beberapa sikap politik Kiai Wahid Hasyim yang dinilai kurang tepat.Ali Martak menganggap,garis politik yang dilakukan putra Pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari itu cukup membahayakan,karena terlalu dekat dengan Jepang."Salah satu yang tidak disepakati Ali Martak adalah usulan Wahid Hasyim agar Jepang melatih para pemuda Indonesia."terangnya.Disamping itu,pengusaha muda itu juga melempar beberapa pertanyaan kepada ayah Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut.Di antaranya persoalan seikerai atau menghormati dengan cara membungkuk ke arah matahari.Kendati demikian,kata Yuhan,tokoh muda NU mampu menjawab pertanyaan dengan bijak.Menurut Yuhan,dalam pandangan Kiai Wahid Hasyim,saat itu tidak tepat menjadikan Jepang sebagai musuh besar.Akan tetapi,Jepang harus dijadikan alat menuju kemerdekaan.Salah satu usulan Kiai Wahid Hasyim adalah konsep pendidikan kedisiplinan dan ilmu kemiliteran.Yang kemudian usulan itu diterima dan Jepang mendidik para pemuda muslim yang dinamakan pelatihan Hizbullah."Akhirnya sikap Ali Martak berubah setelah pertemuan di Stasiun Mojokerto",terangnya.Dari awalnya berseberangan dengan Kiai Wahid Hasyim,akhirnya berbalik mengikuti arah kebijakan salah satu tokoh,yang mendapat gelar Pahlawan Nasional itu."Fragmen semacam itu barangkali kerap terjadi di Stasiun Mojokerto"paparnya.
GUDANG MENYIMPAN UANG PERJUANGAN :
Stasiun Mojokerto juga menjadi saksi bisu atas perjuangan rakyat.Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI,sekitar akhir tahun 1945,stasiun sempat dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan uang dana perjuangan.Pada suatu malam,di penghujung tahun 1945,ada kereta api di stasiun.Kereta tersebut datang dari Stasiun perjalanan,kereta mendapat pengawalan beberapa orang bersenjata.Saat itu,kereta memang harus diamankan hingga ke tujuan,karena mengangkut peti uang.Peti-peti uang itu merupakan dana perjuangan yang didapat dari gedung Bank Nedherland Indische Escompto Matscapij Surabaya.Para pejuang republik sempat melakukan penggedoran & membuka brankas bank milik Belanda.cara itu dilakukan agar tidak diambil alih oleh pasukan sekutu yang telah mendarat di Kota Surabaya.Seluruh uang yang tersimpan di bank perjuangan,Tak kurang dari 100 juta Gulden di bawa HR Muhammad,Ketua Dewan Pertahanan Daerah Surabaya (DPDS).Lembaga itu dibentuk pada awal meletusnya pertempuran November 1945 untuk menkoordinasikan semua kekuatan perjuangan yang terlibat dalam pertempuran.pada saat itu terjadi pertempuran hebat di Surabaya,hingga akhirnya Kota Pahlawan sulit untuk dapat dipertahankan oleh karena itu,barang-barang yang dianggap penting lantas diselamatkan.Sebagian besar di bawa ke Mojokerto yang saat itu dipersiapkan sebagai pusat pemerintahan Jawa Timur/Jatim.Sebagian besar barang-barang tersebut dikirim menggunakan moda transportasi kereta api.Salah satu pengiriman penting ke Mojokerto adalah uang Belanda milik DPDS karena dilengkapi beberapa penjaga bersenjata untuk mengawal sepanjang perjalanan menuju ke stasiun Mojokerto.Pada saat pengiriman itu berlangsung yang menjadi kepala stasiun adalah Siswoyo.Sebagai kepala stasiun,Siswoyo berperan penting atas pengiriman material dari Surabaya tersebut hingga akhirnya kereta yang mengangkut barang-barang itu pun berhasil mendarat mulus di stasiun Mojokerto.Semua barang yang datang disimpan pada gudang stasiun termasuk peti uang dari bobolan Bank Nedherland Indische Escompto Matschapij.Uang tersebut kemudian dijadikan sebagai dana perjuangan.Semua kebutuhan makan & obat-obatan dibeli dengan uang milik kolonial itu hingga akhirnya peti uang di serahkan kepada Bank Rakyat Indonesia/BRI Mojokerto untuk disimpan.Mungkin karena peti uang itu sehingga kekuatan pejuang di Mojokerto sangat di perhitungkan lawan.(Di kutip dari Radar Mojokerto,Jawa Pos,12 September 2018)..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar