Rabu, 06 September 2017

Mojokerto Punya Cerita,Media Massa Pasca Kemerdekaan Di Mojokerto,Radio Tanpa Gelombang..

Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia(RI)17 Agustus 1945 atau pada masa revolusi,semua bangunan di sekitar alun-alun berfungsi sebagai markas perjuangan,tak terkecuali sebuah rumah milik Lie Gien Sien,di pojok barat alun-alun Kota Mojokerto.Lie Gien Sien adalah seorang pengusaha kaya di Mojokerto.Dia mempunyai bisnis di bidang angkutan,selain itu dia juga berjualan kayu.Segala jenis kayu bangunan diperdagangkan.Galangan kayu miliknya juga tersebar di Mojokerto.Oleh karena itu,rumah tersebut dikenal sebagai gudang kayu.Rumah itu masih terlihat kokoh berdiri dengan gaya kolonialnya.Halamannya sudah terlihat banyak ditumbuhi rumput liar karena sudah lama tidak berpenghuni.Letaknya tepat di sebelah kiri gedung bioskop Indra yang lama tutup.Namun tidak banyak yang tahu bahwa rumah tersebut pernah menjadi bagian dari sejarah perjuangan di Mojokerto.Sejarawan asal Mojokerto,Ayyuhannafiq menceritakaan ketika Indonesia merdeka,Lie Gien Sien pengusaha Cina itu telah meninggalkan rumahnya.Belum ada informasi tentang kepergiannya.Rumah dalam keadaan kosong itu kemudian dijadikan sebagai salah satu sarana perjuangan oleh rakyat Mojokerto."Waktu itu,dijadikan sebagai pusat penerangan rakyat,"terangnya.Maklum saja,informasi tentang perkembangan situasi revolusi tidak semua orang bisa mendapatkan.Alat telekomunikasi masih sulit pada masa itu.Hanya radio yang menjadi alat utama.Itu pun tidak semua orang memiliki.Menurut Yuhan,pusat penerangan rakyat Mojokerto kemudian memasang sebuah radio di alun-alun Mojokerto,radio itulah yang menjadikan sarana untuk mendapatkan informasi oleh masyarakat umum."Suara radio dihubungkan dengan pengeras suara agar bisa didengar banyak orang,"ujarnya.Pada saat tertentu,pusat penerangan rakyat tersebut juga diadakan rapat terbuka di sampaikan berbagai informasi penting dari pemerintah pusat dan juga daerah lainnya.Orang yang bertugas menyampaikan berita didepan pengeras suara adalah Soejoso.Kala itu Soejoso lebih akrab dengan julukan Pak Ketupat.Berita tersebut dibacakan langsung didepan kerumunan orang,sehingga kegiatan rapat itu dikenal dengan sebutan radio tanpa gelombang.Radio tanpa gelombang itu sangat diminati oleh warga Kota Mojokerto,pasalnya masyarakaat merasa sangat terbantu dengan berita yang dibacakan Pak Ketupat.Radio umum yang terpasang di kantor penerangan itu juga menarik perhatian,terutama saat sedang ada siaran langsung pidato tokoh nasional."Tokoh yang pidatonya selalu dinanti tentu adalah pidatonya Bung Karno,"paparnya.Yuhan melanjutkan,sesudah Surabaya dikuasai Inggris,banyak penduduknya mengungsi.Mojokerto menjadi salah satu tempat pengungsian utama.Bukan hanya penduduknya,
,tetapi turut serta juga pemerintah Provinsi Jawa Timur (Jatim) dan pemerintah Karesidenan Surabaya.Dengan demikian,Mojokerto menjadi Ibu Kota sementara Jatim.Aktivitas perjuangan semakin meningkat dikota Onde-onde.Demikian pula dengan peran pusat penerangan rakyat juga semakin banyak aktivitas."Rapat-rapat terbuka kian sering digelar di Alun-alun,"tandas Yuhan.Dia menambahkan,aktivitas radio tanpa gelombang itu berakhir seiring jatuhnya kota Mojokerto pada 17 Maret 1967.Oleh Belanda,salah seorang pegawai pusat penerangan,M.Pamoedji diangkat sebagai Bupati Mojokerto.Dia ditunjuk sebagai Bupati Mojokerto dalam naungan NICA.Sementara pihak RI tetap mengakui Soekandar sebagai Bupati di Mojokerto.(Di kutip dari Radar Mojokerto,6 September 2017).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label : KEGIATAN