Perhatian tentang penggunaan antibiotik sudah terjadi secara global.Tidak terkecuali dalam dunia peternakan.Pemerintah telah membatasi penggunaannya secara serampangan.namun,masih ditemui daging & telur ayam yang mengandung antibiotik.Memalui Permentan No14 tentang Klasifikasi Obat Hewan & Permentan No.22 Tahun 2017 tentang Pendaftaran & Peredaran Pakan,pemerintah berupaya memberikan batasan penggunaan antibiotik pada hewan.Harapannya,meminimalkan residu antibiotik di produk hewani yang dikonsumsi masyarakat.Yang dikhawatirkan dari antibiotik tanpa kontrol tanpa resistan atau kebalnya mikroba.Dengan begitu,tidak ada lagi obat yang bisa menyembuhkannya.Jawa Pos mengambil sampel daging & telur ayam di pasar tradisional & modern di Jakarta & Surabaya.Sampel itu diujikan di Laboratorium Proffesor Nidhom Foundation (PNF) di Surabaya untuk mengetahui adanya residu antibiotik.Metode yang digunakan adalah uji bakteriologis dan uji 'thin layer chromatography'(TLC).Sistem pengujian tersebut dianggap saling terkait.TLC akan membuktikan adanya residu,sedangkan uji bakteriologis menguji reaksi bakteri terhadap antibiotik dalam daging dan telur ayam tersebut."Kesimpulannya,semua bagian dari ayam,baik telur,daging hati,maupun ceker,memiliki residu antibiotik"kata Prof Chairil Anwar Nidom,pemilik PNF,Jumat (26/7)Dia menambahkan,ada 1 sampel kuning telur yang diperoleh dari pasar modern Surabaya yang tidak mengandung antibiotik.Namun,di putih telurnya ditemukan antibiotik.Menurut dia,ada berbagai kemungkinan.Salah satunya,paparan antibiotik tidak tersebar diseluruh bagian.Nidom menjelaskan,uji sampel itu menunjukkan adanya residu.Untuk menunjukkan apakah residu tersebut menyebabkan resistan,diperlukan pengujian atau penelitian lebih lanjut."Namun,ini seharusnya menjadikan peringatan awal bagi pembuat kebijakan.Apalagi,ada aturan pemantauan resistensi penggunaan antimikroba,"ucap Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga itu.Jika tidak diseriusi,Nidom mengatakan,akan ada peluang resistan mikroba.Sebab,resistan tersebut bisa disebabkan sifat mikroba yang menyesuaikan lingkungan & paparan dari luar seperti konsumsi antibiotik secara serampangan."Fakta resisitensi mikroba ini sudah banyak dikemukakan.Seperti di temukan tubercolusis multidrugsresistant/TB-MDR.Selama ini saling tuduh apa & siapa penyebabnya,"ujarnya.Peneliti dari Program Studi Ilmu Penyakit & Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH Unair Mustofa Helmi Effendi menuturkan,penelitian terakhirnya menunjukkan adanya resistensi anti mikroba.Penelitian itu diambil dari kandang peternakan ayam & sapi di salah satu kota di Jawa Timur.Penelitannya dengan melakukan rectal swab pada sapi & cloacal swab pada unggas atau dengan kata lain mengambil sampel lewat dubur hewan."Hasilnya,bakteri E-coli resistan terhadap antibiotik"tuturnya.Sebelumnya,Center for Indonesia Veterinary Analytical Studies (CIVAS) bersama sejumlah konsultan ahli kesehatan dan kesehatan hewan telah melaksanakan penelitian resistensi antimikroba sepanjang 2013 hingga 2016.Ada tiga wilayah di Jawa Tengah yang diteliti,yakni Kabupaten Sukoharjo,Klaten & Karanganyar."Yang ditelii adalah resistan e-coli yang sampelnya hewan,lingkungan peternakan,,& pekerja serta keluarga pekerja,"tutur Ketua CIVAS,Sunandar,Kamis (25/7).Dalam penelitian itu diketahui bahwa e-coli pada sampel di 3 wilayah di Jawa Tengah resistan antibiotik.Jenis obatnya ada Ampicillin,Amoxicillin,Cephalotin,Cefriaxzone,Gentamicin,Ciprofloxacin,Lerofloxacin,Chloramphenical,Trimenthoprimsulpathemethoxasole,& Tetracycilin."yang terbanyak adalah Amoxicillin,"ungkapnya.Namun,Sunandar belum bisa memastikan apalah E-colli yang resistan pada pekerja ditularkan dari hewan ternak.Begitu juga resisten pada hewan,apakah ditularkan pada manusia atau lingkungan.Alumnus ITB itu mengatakan bahwa antibiotik tidak hanya diberikan saat pengobatan,Justru ketika pengobatan,boleh digunakan antibiotik.Di pangan kemungkinan juga diberikan antibiotik.Masih adanya residu antibiotik di tubuh hewan yang dikonsumsi menunjukkan pengawasan yang lemah.Sunandar menjelaskan bahwa tidak semua peternakan terdapat dokter hewan yang mengontrol pemberian obat.Selain itu,pembelian antibiotik juga mudah."Jika hewannya tidak sembuh dengan obat A,diganti obat B,Tidak pakai resep"ujarnya.Selain itu,kesadaran masyarakat rendah.Penggunaan antibiotik oleh peternak jadi salah satu indikasi.Belum lagi konsumen yang abai asal makanannya.Misalnya menanyakan nomor kontrol veteriner (NKV).Nomor registrasi tersebut sebagai bukti telah dipenuhinya persyaratan higienis dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan produk hewan.
*MENINGKAT,JUMLAH MEREKA YANG RESISTEN.
Penelitian terakhirnya yang dipublikasikan sekitar 2017 menyatakan bahwa 60 % pasien di 8 RS pendidikan itu memiliki extended-spectrum beta-lactamase/ESBL.Artinya,ada enzim yang menyebabkan bakteri tahan terhadap banyak jenis antibiotik.Jumlah itu meningkat dari penelitian sebelumnya yang dipublikasikan 2013.Dalam penelitian tersebut,KPRA menyatakan bahwa angka resisensi di RS pendidikan 40%.Ketua KPRA Hari Paraton menyatakan,jumlahnya tiap tahun terus meningkat.Untuk itu,diperlukan pengendalian penggunaan antibiotik.Tidak terkecuali pada sektor peternakan."Dampak penggunaan antibiotik sembarangan tidak terlihat dalam waktu dekat,"ungkapnya.Tidak selalu dialami oleh pengguna antibiotik secara sembarangan.Hari mencontohkan,penyebarannya,manusia yang sudah memiliki bakteri resistan buang air besar di sungai.Lalu,bakteri di feses bisa mencemari air atau ikan yang ada di sungai itu.Kemudian,air & ikan dikonsumsi manusia lain.Di dalam tubuh manusia terdapat 90 hingga 100 triliun bakteri baik,Namun,saat kondisi sakit,tubuh bisa menjadi sangat sulit diobati.Sebagai spesialis Obstetri ginekologi,Hari mencontohkan luka bekas operasi caezar.Pada kasus tertentu.luka pada operasi sulit kering & akhirnya infeksi.Diobati dengan antibiotik tertentu tidak sembuh.Hari menjelaskan,ada beberapa jenis penyakit yang ditemui dikasus resistansi.Selain luka bekas operasi,ada pneumonia,penyakit saluran kemih,& infeksi aliran darah.Lalu,dari mana resistensi antimikroba itu muncul?Sebagai makhluk hidup,mikroba akan menyesuaikan diri untuk bertahan hidup.Antibiotik dibuat untuk melemahkan bakteri.Penggunaan antibiotik dengan sembarangan membuat bakteri menyesuaikan diri.Tujuannya adalah bertahan.Lambat laun,zat kimia dalam antibiotik tidak mempan lagi untuk bakteri tertentu.Untuk pengendalian resistan antimikroba,ada beberapa cara.
-Pertama,adalah penggunaan antibiotik harus diberikan atas resep dokter.Jumlah konsusmsinya pun tidak boleh kurang atau lebih.Bahkan,konsumsinya harus tepat."Pemerintah sedang menyusun 2 buku.Pertama,penggunaan antibiotik secara nasional & program penataan antibiotik,"ungkapnya.
-Langkah lainnya adalah pengendalian antibiotik dari makanan yang dikonsumsi.Peneliti dari Program Studi Ilmu Penyakit & Kesehatan Masyarakat Verteriner FKH Unair Mustofa Hilmi Effendi menyatakan,pemberian antibiotik dilingkungan peternakan harus terawasi.Juga,penerapan biosecurity."Biosecurity bagus untuk pengamanan lingkungan peternakan,"ujarnya.Biosecurity di peternakan secara sederhana bertujuan membuat kuman jauh dari tubuh hewan ternak.Jawa Pos akhir bulan lalu mengunjungi salah satu peternakan ayam petelur di Lampung Timur yang menggunakan skema zona biosecurity 3 zona.Ada 3 lapisan perlindungan yang ditetapkan di peternakan tersebut.Sebelum masuk di peternakan itu,pengunjung harus ganti baju & mandi.Juga,disemprot disinfektan.Hal tersebut berlaku juga bagi kendaraan yang masuk area peternakan.Bahkan,ketika akan masuk kandang ayam.semuanya harus mencuci kaki dengan air yang mengandung disinfektan.(Di kutip dari Jawa Pos,29 Juli 2019).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar