Sebagai wilayah penghubung dengan kota-kota besar,Mojokerto menjadi salah satu kawasan yang memiliki potensi besar sebagai pusat perdagangan.Namun,pada masa kolonial,sistem perdagangan tidak berpihak pada pedagang kecil.Akan tetapi lebih dikendalikan oleh segelintir perusahaan maupun orang yang diberi konsesi atau pemberian izin dari penguasa untuk menjadi distributor tunggal.Sejarawan Mojokerto,Ayuhanafiq menjelaskan,pada era kolonial,sistem perdagangan menerapkan sistem monopoli.Dengan demikian,segala arus keluar-masuk barang diawasi secara ketat oleh seorang kepala atau mantri.Di Mojokerto sendiri,monopoli atas barang dikuasai pada orang keturunan Tionghoa.Dia mengatakan,pada awal ke-19,ada seorang keturunan Tionghoa memiliki peran yang cukup penting dalam roda perdagangan di Mojokerto.Orang tersebut adalah Tan Djoe An yang dipercaya sebagai kepala orang keturunan Tionghoa dengan pangkat tituler Letnan Cina.Jabatan itu diemban sejak sekitar tahun 1897."Dengan posisi itu,peran Tan Djoe An sangat begitu dominan"terangnya.Dia menjelaskan,sebagai kepala yang membawahi warga keturunan Tionghoa di seluruh wilayah administrasi atau "afdeling"Mojokerto.Tan Djoe An diberi tugas mengontrol warganya.Terdapat dua "enklave'atau daerah yang disebut kampung Pecinan."Masing-masing adalah di Mojokerto dan Mojosari".Menutur Yuhan menjabat sebagai letnan.Tan Djoe An memiliki kewajiban untuk mengumpulkan pajak.Dana itu didapatkan dari pungutan kepada orang-orang keturunan Tionghoa sendiri.Di samping itu,jabatan tersebut juga menjadikan Tan Djoe An sebagai distributor tunggal atas perdagangan barang di wilayah Mojokerto dan Jombang karena telah mengantongi konsensi dari pemerintah kolonial."Semua barang produksi pabrik yang mengalir ke Mojokerto melalui toko yang dimilikinya".ujarnya.Toko tersebut dulu bernama Besar Tan Djoe An,Sebuah toko di Jalan Kediri atau sekarang bernama Jalan Mojopahit.Sebuah jalan yang menjadi jalur arteri Mojokerto saat itu.Toko Besar Tan Djoe An berdiri tepat di sudut barat simpang empat Jalan Mojopahit-Jalan Kartini,Kota Mojokerto.Pada saat itu,Jalan Mojopahit merupakan jalur utama yang menghubungkan Mojokerto dengan Kota Surabaya.Sehingga sempat menjadi sentra perdagangan di tengah Kota Onde-Onde.Hingga akhirnya jalur dialihkan ke Jalan Gajah Mada serta Jalan Raya Bypass Mojokerto.Banyak berdiri toko-toko yang kebanyakan dimiliki oleh keturunan Tionghoa.Kondisi itu tak lepas karena kala itu,Jalan Mojopahit ditetapkan sebagai kawasan Pecinan untuk wilayah Mojokerto.Pak Yuhan mengatakan,dulu orang keturunan Tionghoa tidak boleh tinggal di sembarang tempat."Mereka hanya boleh mendiami kawasan Pecinan"tandasnya.
SEMPAT DIJARAH PEJUANG REVOLUSI
Sementara itu,selain mengelola toko,Tan Djoe An juga memiliki perusahaan yang dinamakan Firma Tan Djoe An.Perusahaan dagang itu yang mewadahi usahanya selaku agen berbagai komoditas.Dengan demikian,pengusaha tersebut semakin memegang kendali urat nadi perdagangan di Mojokerto pasalnya hampir semua kebutuhan mulai dari bahan pangan,sandang,hingga bangunan tersedia di toko tersebut."Bahkan juga memasok kebutuhan obat-obatan & juga produk bahan kimia,"imbuh Yuhan.Sebagai distributor tunggal,Tan Djoe An kemudian menyalurkan barang dagangannya ke toko retail di wilayah Mojokerto.Pundi-pundi penghasilannya dari keuntungan usahanya mengalir cukup deras ke kantongnya.Akan tetapi,peran sebagai distributor tidak selamanya dikuasai Tan Djoe An & keturunannya,itu terjadi ketika Tan Djoe An melepas jabatannya sebagai Letnan Cina di Mojokerto sehingga terlepas pula konsesi yang diberikan pemerintah kepadanya.Meski begitu,Toko Besar Tan Djoe An tetap menjadi alah satu toko terlengkap di Mojokerto.Pada masa revolusi kemerdekaan,Toko Tan Djoe An sempat dijarah oleh para pejuang bahkan pada suatu malam juga terjadi aksi pembakaran.Peristiwa tersebut memicu protes Konsulat Tiongkok di Surabaya.Mereka menyesalkan seringnya terjadi teror pada warga keturunan Tionghoa yang tidak bisa dicegah oleh Belanda.Mereka menilai Belanda tidak mampu menjamin keturunan Tionghoa di Mojokerto.Sekitar tahun 1950-an,kejayaan toko terlengkap itu pun mulai meredup hingga akhirnya toko itu gulung tikar & berganti pemilik.Kendati demikian,bangunan yang sempat menjadi pusat perdagangan itu masih berdiri.Kemungkinan toko itu dijual saat terjadi huru-hara tahun 1965.(Di kutip dari Radar Mojokerto,Jawa Pos,26 September 2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar